JAKARTA - Polusi udara kini menjadi tantangan serius bagi Indonesia, tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat tetapi juga ekonomi nasional. Beban ekonomi akibat dampak kesehatan dari polusi diperkirakan mencapai US$ 220 miliar pada 2022, setara 6,6% dari PDB nasional (PPP).
Di Jakarta, kualitas udara yang buruk terkait dengan lebih dari 10.000 kematian dini setiap tahunnya. Situasi ini menunjukkan urgensi kolaborasi lintas sektor untuk mengurangi risiko dan dampak polusi.
Peran Sektor Keuangan dalam Transformasi Industri
Bank dan lembaga keuangan diharapkan menjadi katalisator pembiayaan bagi industri untuk beralih ke produksi rendah emisi. Misalnya, BNI telah menyiapkan instrumen seperti green loan, green bond, dan pembiayaan terkait keberlanjutan (sustainability-linked financing).
Namun, keberhasilan transformasi tidak cukup hanya dari pembiayaan. Diperlukan juga insentif kebijakan, jaminan risiko oleh pemerintah, regulasi tegas, dan pemantauan emisi industri.
Sistem pemantauan seperti SI-SPEK menjadi kunci transparansi data emisi industri. Pemerintah menekankan bahwa pemantauan ini penting agar informasi yang diterima akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dunia usaha juga diharapkan aktif mengadopsi teknologi efisiensi energi dan rendah emisi. Perusahaan harus melihatnya sebagai investasi strategis, bukan sekadar kewajiban regulasi.
Kolaborasi untuk Aksi Udara Bersih
Aksi udara bersih memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor keuangan, industri, dan masyarakat sipil. Acara tematik “Mempercepat Aksi Udara Bersih: Mobilisasi Pembiayaan untuk Inisiatif Udara Bersih” di Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 menjadi jembatan kolaborasi tersebut.
Kolaborasi ini diharapkan mempercepat adopsi teknologi rendah emisi. Selain itu, koordinasi lintas sektor bisa menurunkan risiko investasi dan mempermudah akses pembiayaan hijau.
Tantangan Implementasi dan Strategi Lanjutan
Skala investasi dan risiko menjadi salah satu tantangan utama bagi industri untuk mengadopsi teknologi rendah emisi. Banyak perusahaan ragu berinvestasi besar karena potensi return yang rendah dalam jangka pendek.
Kebijakan pemerintah dan insentif fiskal juga harus konsisten. Jika insentif tidak menarik, dorongan dari sektor swasta akan terbatas dan implementasi teknologi bersih melambat.
Penguatan kapasitas monitoring dan enforcement menjadi langkah penting. Sistem pemantauan seperti SI-SPEK harus menjamin kepatuhan industri dan keakuratan data emisi.
Selain itu, edukasi dan insentif bagi perusahaan kecil menengah perlu diperkuat. Hal ini agar semua lapisan industri ikut dalam produksi ramah lingkungan, tidak hanya pemain besar.
Sinergi dengan Tren Global
Inisiatif pembiayaan hijau dan industri rendah emisi di Indonesia selaras dengan tren global. Bank dan lembaga keuangan dunia mulai memprioritaskan ESG (Environmental, Social, Governance) dan investasi yang mendukung target iklim.
Pendekatan ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan strategi kolaboratif, transformasi industri dan kualitas udara diharapkan bisa berjalan beriringan.
Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan keuangan bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Implementasi yang efektif akan berdampak langsung pada kesehatan, ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan nasional.